Minggu, 08 Februari 2015

Taruhan




Saat itu malam musim gugur yang gelap. Seorang bankir tua berjalan mondar‑mandir di ruang kerjanya terkenang pesta yang diselenggarakannya pada musim gugur lima belas tahun silam. Banyak orang pandai yang hadir dan percakapan‑percakapan yang menarik di sana.
Di antara hal‑hal yang mereka perbincangkan adalah masalah hukuman mati. Para tamu, tidak sedikit di antaranya adalah para sarjana dan jurnalis, sebagian besar tidak setuju atas pelaksanaan hukuman terse­but. Mereka menganggap hal itu sebagai suatu bentuk hukuman yang sudah kuno, tidak cocok untuk negara kristen dan amoral. Seba­gian dari mereka berpendapat bahwa hukuman mati hendaknya diganti saja dengan hukuman penjara seumur hidup secara universal.
“Aku tak sependapat dengan kalian,” kata sang tuan rumah. “Aku sendiri belum pernah mengalami hukuman mati atau penjara seumur hidup, tapi bila kita boleh mengambil pertimbangan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, menurut pendapatku hukuman mati lebih bermoral dan lebih manusiawi daripada penjara. Eksekusi langsung membunuh, sedang penjara seumur hidup membunuh perlahan‑lahan. Siapakah algojo yang lebih manusiawi, orang yang membunuhmu dalam beberapa detik ataukah seseorang yang mencabut nyawamu selama bertahun‑tahun?” “Keduanya sama‑sama amoral,” ujar seorang tamu, “karena tujuan keduanya sama, mengambil kehidupan. Negara bukan Tuhan. Ia tak punya hak untuk mengambil apa yang tak dapat diberikannya kembali.”
Di antara mereka terdapat seorang pengacara muda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Ketika dimintai pendapatn­ya, ia berkata:
“Hukuman mati dan penjara seumur hidup sama‑sama amoral, tapi kalau aku disuruh memilih di antara keduanya, aku pasti memilih yang kedua. Bagaimanapun juga, hidup lebih baik daripada tidak hidup sama sekali.”
Terjadilah perdebatan yang seru. Sang bankir yang saat itu masih muda dan temperamental tiba‑tiba naik pitam, ia menggebrak meja dan berteriak kepada pengacara muda tadi:
“Bohong! Aku berani bertaruh dua juta kau takkan betah ngendon di sel walau hanya untuk lima tahun saja!”
“Kalau kau serius,” sahut sang pengacara, “aku bertaruh akan ngendon bukan hanya selama lima, tapi lima belas tahun.”
“Lima belas tahun. Jadi!” seru sang bankir. “Tuan‑tuan, aku mempertaruhkan dua juta!”
“Setuju. Kau bertaruh dengan dua juta, aku dengan kebeba­sanku,” kata sang pengacara.
Maka taruhan edan‑edanan itu jadilah. Sang bankir yang saat itu memiliki banyak uang tak dapat mengendalikan dirinya. Selama makan malam ia berkata kepada sang pengacara dengan canda:
“Sadarlah sebelum terlalu terlambat, anak muda. Dua juta tak ada artinya bagiku, namun kau akan kehilangan tiga atau empat tahun terbaik dalam hidupmu. Kubilang tiga atau empat, karena kau takkan kuat ngendon  lebih lama lagi. Juga jangan lupa, hai orang malang, bahwa sukarela lebih berat daripada melaksanakan hukuman penjara sesungguhnya. Pikiran bahwa kau punya hak untuk membebas­kan dirimu kapan saja, akan mengacaukan seluruh kehidupanmu di dalam sel. Aku kasihan padamu.”

Wawancara: “Cerita pendek mengingatkan pentingnya hidup berbudaya.”

C. Michael Curtis adalah seorang Senior Editor di jurnal sastra, seni dan politik tertua di AS, The Atlantic. Beliau sudah bekerja sebagai editor fiksi (cerita pendek) di jurnal ini selama lebih dari empat puluh tahun; dan di bawah asuhan beliau banyak sekali bakat-bakat muda yang tumbuh pesat hingga menjadikan mereka tokoh-tokoh sastra ternama di dunia. Tak kurang dari 12,000 naskah cerita pendek beliau baca setiap tahunnya; dan setiap tahun cerpen-cerpen pilihan beliau dinominasikan sebagai cerpen terbaik oleh badan sastra di AS. Selain mengedit, beliau juga mengajar creative writing di sejumlah universitas-universitas bergengsi seperti Harvard, MIT, Cornell, Tufts, Bennington dan masih banyak lagi lainnya. Berikut adalah hasil wawancara salah satu staf The Atlantic, Mary Ann Koruth, dengan beliau.
Q: Apakah Anda memiliki etika tertentu dalam mengedit sebuah karya atau pandangan tertentu tentang bentuk karya yang layak baca sebelum memutuskan untuk menerbitkan karya tersebut di The Atlantic? Atau Anda hanya mencari karya yang menarik perhatian Anda sebagai seorang pembaca?
A: Di antara keduanya. Saya tidak punya peraturan khusus tentang karya yang seperti apa yang layak diterbitkan; meski tentunya saya punya beberapa kecenderungan yang menarik perhatian saya. Misalnya, saya ingin ada ‘kejadian penting’ dalam sebuah cerita. Saya lebih suka cerita yang memfokuskan diri pada kejadian-kejadian serta konsekuensinya terhadap kehidupan para karakter utama di dalam cerita tersebut. Saya juga tidak pilih kasih terhadap cerita yang menghadirkan sketsa atau kilasan hidup. Pada setiap cerita yang saya baca, saya juga cenderung mencari dialog yang unik, mekanisme penuturan yang kuat, serta penggunaan bahasa figuratif yang handal—hal-hal yang menghadirkan daya seni tinggi, ketimbang hal-hal yang hanya terpaut pada plot saja.
Q: Apakah benar bahwa setiap cerita pendek yang diterbitkan di jurnal The Atlantic dicek kebenaran faktanya?

Frase, Klausa, dan Kalimat

A.      Frase
Frase adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. Misalnya: akan datang, kemarin pagi, yang sedang menulis.
Dari batasan di atas dapatlah dikemukakan bahwa frase mempunyai dua sifat, yaitu
a.       Frase merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih.
b.       Frase merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa, maksudnya frase itu selalu terdapat dalam satu fungsi unsur klausa yaitu: S, P, O, atau K.
Macam-macam frase:
A.       Frase endosentrik
Frase endosentrik adalah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya. Frase endosentrik dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu:
1.       Frase endosentrik yang koordinatif, yaitu: frase yang terdiri dari unsur-unsur yang setara, ini dibuktikan oleh kemungkinan unsur-unsur itu dihubungkan dengan kata penghubung.
Misalnya:       kakek-nenek                         pembinaan dan pengembangan
                laki bini                                  belajar atau bekerja
2.       Frase endosentrik  yang atributif, yaitu frase yang terdiri dari unsur-unsur yang tidak setara. Karena itu, unsur-unsurnya tidak mungkin dihubungkan.
Misalnya:       perjalanan panjang
                hari libur
Perjalanan, hari merupakan unsur pusat, yaitu: unsur yang secara distribusional sama dengan seluruh frase dan secara semantik merupakan unsur terpenting, sedangkan unsur lainnya merupakan atributif.
3.       Frase endosentrik yang apositif: frase yang atributnya berupa aposisi/ keterangan tambahan.
Misalnya: Susi, anak Pak Saleh, sangat pandai.
Dalam frase Susi, anak Pak Saleh secara sematik unsur yang satu, dalam hal ini unsur anak Pak Saleh, sama dengan unsur lainnya, yaitu Susi. Karena, unsur anak Pak Saleh dapat menggantikan unsur Susi. Perhatikan jajaran berikut:
Susi, anak Pak Saleh, sangat pandai
Susi, …., sangat pandai.
…., anak Pak Saleh sangat pandai.
Unsur Susi merupakan unsur pusat, sedangkan unsur anak Pak Saleh merupakan aposisi (Ap).
B.       Frase Eksosentrik
Frase eksosentrik ialah frase yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya.
Misalnya:
Siswa kelas 1A sedang bergotong royong di dalam kelas.
Frase di dalam kelas tidak mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya. Ketidaksamaan itu dapat dilihat dari jajaran berikut:
                        Siswa kelas 1A sedang bergotong royong di ….
                        Siswa kelas 1A sedang bergotong royong …. kelas
C.      Frase Nominal, frase Verbal, frase Bilangan, frase Keterangan.
1.       Frase Nominal: frase yang memiliki distributif yang sama dengan kata nominal.
                Misalnya: baju baru, rumah sakit
2.       Frase Verbal: frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan golongan kata verbal.
                Misalnya: akan berlayar
3.       Frase Bilangan: frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata bilangan.
                Misalnya: dua butir telur, sepuluh keping
4.       Frase Keterangan: frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata keterangan.
                Misalnya: tadi pagi, besok sore
5.       Frase Depan: frase yang terdiri dari kata depan sebagai penanda, diikuti oleh kata atau frase sebagai                aksinnya.
                Misalnya: di halaman sekolah, dari desa
D.      Frase Ambigu
Frase ambigu artinya kegandaan makna yang menimbulkan keraguan atau mengaburkan maksud kalimat. Makna ganda seperti itu disebut ambigu.
Misalnya: Perusahaan pakaian milik perancang busana wanita terkenal, tempat mamaku bekerja, berbaik hati mau melunaskan semua tunggakan sekolahku.
Frase perancang busana wanita dapat menimbulkan pengertian ganda:
1.       Perancang busana yang berjenis kelamin wanita.
2.       Perancang yang menciptakan model busana untuk wanita.

B.            Klausa
Klausa adalah satuan gramatika yang terdiri dari subjek (S) dan predikat (P) baik disertai objek (O), dan keterangan (K), serta memilki potensi untuk menjadi kalimat. Misalnya: banyak orang mengatakan.
Unsur inti klausa ialah subjek (S) dan predikat (P).
Penggolongan klausa:
1.       Berdasarkan unsur intinya
2.       Berdasarkan ada tidaknya kata negatif yang secara gramatik menegatifkan predikat
3.       Berdasarkan kategori kata atau frase yang menduduki fungsi predikat

C.      Kalimat
a.       Pengertian
Kalimat adalah satuan bahasa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang mengandung pikiran yang lengkap dan punya pola intonasi akhir.
                Contoh: Ayah membaca koran di teras belakang.
b.       Pola-pola kalimat
Sebuah kalimat luas dapat dipulangkan pada pola-pola dasar yang dianggap menjadi dasar pembentukan kalimat luas itu.
1.       Pola kalimat I = kata benda-kata kerja
Contoh: Adik menangis. Anjing dipukul.
Pola kalimat I disebut kalimat ”verbal”
2.       Pola kalimat II = kata benda-kata sifat
Contoh: Anak malas. Gunung tinggi.
Pola kalimat II disebut pola kalimat ”atributif”
3.       Pola kalimat III = kata benda-kata benda
Contoh: Bapak pengarang. Paman Guru
Pola pikir kalimat III disebut kalimat nominal atau kalimat ekuasional. Kalimat ini mengandung kata kerja bantu, seperti: adalah, menjadi, merupakan.
4.       Pola kalimat IV (pola tambahan) = kata benda-adverbial
Contoh: Ibu ke pasar. Ayah dari kantor.
Pola kalimat IV disebut kalimat adverbial

D.      Jenis Kalimat
1.       Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya terdiri atas dua unsur inti pembentukan kalimat (subjek dan predikat) dan boleh diperluas dengan salah satu atau lebih unsur-unsur tambahan (objek dan keterangan), asalkan unsur-unsur tambahan itu tidak membentuk pola kalimat baru.

Kalimat Tunggal
Susunan Pola Kalimat
Ayah merokok.
Adik minum susu.
Ibu menyimpan uang di dalam laci.
S-P
S-P-O
S-P-O-K

2.       Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat-kalimat yang mengandung dua pola kalimat atau lebih. Kalimat majemuk dapat terjadi dari:
a.       Sebuah kalimat tunggal yang bagian-bagiannya diperluas sedemikian rupa sehingga perluasan itu membentuk satu atau lebih pola kalimat baru, di samping pola yang sudah ada.
Misalnya:       Anak itu membaca puisi. (kalimat tunggal)
Anak yang menyapu di perpustakaan itu sedang membaca puisi.
(subjek pada kalimat pertama diperluas)
b.       Penggabungan dari dua atau lebih kalimat tunggal sehingga kalimat yang baru mengandung dua atau lebih pola kalimat.
Misalnya:       Susi menulis surat (kalimat tunggal I)
Bapak membaca koran (kalimat tunggal II)
                    Susi menulis surat dan Bapak membaca koran.
Berdasarkan sifat hubungannya, kalimat majemuk dapat dibedakan atas kalimat majemuk setara, kalimat majemuk bertingkat, dan kalimat majemuk campuran.
1)       Kalimat majemuk setara
Kalimat majemuk setara adalah kalimat majemuk yang hubungan antara pola-pola kalimatnya sederajat. Kalimat majemuk setara terdiri atas:
a.       Kalimat majemuk setara menggabungkan. Biasanya menggunakan kata-kata tugas: dan, serta, lagipula, dan sebagainya.
        Misalnya: Sisca anak yang baik lagi pula sangat pandai.
b.       Kalimat majemuk serta memilih. Biasanya memakai kata tugas: atau, baik, maupun.
                        Misalnya: Bapak minum teh atau Bapak makan nasi.
c.        Kalimat majemuk setara perlawanan. Biasanya memakai kata tugas: tetapi, melainkan.
                        Misalnya: Dia sangat rajin, tetapi adiknya sangat pemalas.

2)       Kalimat majemuk bertingkat
Kalimat majemuk yang terdiri dari perluasan kalimat tunggal, bagian kalimat yang diperluas sehingga membentuk kalimat baru yang disebut anak kalimat. Sedangkan kalimat asal (bagian tetap) disebut induk kalimat. Ditinjau dari unsur kalimat yang mengalami perluasan dikenal adanya:
a.             Kalimat majemuk bertingkat dengan anak kalimat penggati subjek.
Misalnya:       Diakuinya  hal itu
                                P             S
                        Diakuinya bahwa ia yang memukul anak itu.
                                            anak kalimat pengganti subjek
b.             Kalimat majemuk bertingkat dengan anak kalimat pengganti predikat.
Misalnya:       Katanya begitu
                        Katanya bahwa ia tidak sengaja menjatuhkan gelas itu.
                                                anak kalimat pengganti predikat
c.              Kalimat majemuk bertingkat dengan anak kalimat pengganti objek.
Misalnya:       Mereka sudah mengetahui hal itu.
                                S             P                             O
                        Mereka sudah mengetahui bahwa saya yang mengambilnya.
                                                                                anak kalimat pengganti objek
d.             Kalimat majemuk bertingkat dengan anak kalimat pengganti keterangan.
Misalnya:       Ayah pulang malam hari
                            S        P             K
Ayah pulang ketika kami makan malam
                        anak kalimat pengganti keterangan
3)           Kalimat majemuk campuran
Kalimat majemuk campuran adalah kalimat majemuk hasil perluasan atau hasil gabungan beberapa kalimat tunggal yang sekurang-kurangnya terdiri atas tiga pola kalimat.
Misalnya: Ketika ia duduk minum-minum, datang seorang pemuda berpakaian bagus, dan menggunakan kendaraan roda empat.
                        Ketika ia duduk minum-minum
                                                                                pola atasan
                                                        datang seorang pemuda berpakaian bagus
                                                                                pola bawahan I
                                                        datang menggunakan kendaraan roda empat
                                                                                pola bawahan II
                                                                                
3. Kalimat Inti, Luas, dan Transformasi
a.       Kalimat inti
Kalimat inti adalah kalimat mayor yang hanya terdiri atas dua kata dan sekaligus menjadi inti kalimat.
Ciri-ciri kalimat inti:
1)       Hanya terdiri atas dua kata
2)       Kedua kata itu sekaligus menjadi inti kalimat
3)       Tata urutannya adalah subjek mendahului predikat
4)       Intonasinya adalah intonasi ”berita yang netral”. Artinya: tidak boleh menyebabkan perubahan atau pergeseran makna laksikalnya..
b.       Kalimat luas
Kalimat luas adalah kalimat inti yang sudah diperluas dengan kata-kata baru sehingga tidak hanya terdiri dari dua kata, tetapi lebih.
c.        Kalimat transformasi
Kalimat transformasi merupakan kalimat inti yang sudah mengalami perubahan atas keempat syarat di atas yang berarti mencakup juga kalimat luas. Namun, kalimat transformasi belum tentu kalimat luas.
Contoh kalimat  Inti, Luas, dan Transformasi
a.       Kalimat Inti. Contoh: Adik menangis.
b.       Kalimat Luas. Contoh: Radha, Arief, Shinta, Mamas, dan Mila sedang belajar dengan serius, sewaktu pelajaran matematika.
c.        Kalimat transformasi. Contoh:
i)         Dengan penambahan jumlah kata tanpa menambah jumlah inti, sekaligus juga adalah kalimat luas: Adik menangis tersedu-sedu kemarin pagi.
ii)       Dengan penambahan jumlah inti sekaligus juga adalah kalimat luas: Adik menangis dan merengek kepada ayah untuk dibelikan komputer.
iii)      Dengan perubahan kata urut kata. Contoh: Menangis adik.
iv)      Dengan perubahan intonasi. Contoh: Adik menangis?
4. Kalimat Mayor dan Minor
a.       Kalimat mayor
Kalimat mayor adalah kalimat yang sekurang-kurangnya mengandung dua unsur inti.
Contoh:          Amir mengambil buku itu.
Arif ada di laboratorium.
Kiki pergi ke Bandung.
Ibu segera pergi ke rumah sakit menengok paman, tetapi ayah menunggu kami di rumah Rati karena kami masih berada di sekolah.
b.       Kalimat Minor
Kalimat minor adalah kalimat yang hanya mengandung satu unsur inti atau unsur pusat. 
    Contoh:          Diam!
Sudah siap?
Pergi!
Yang baru!
Kalimat-kalimat di atas mengandung satu unsur inti atau unsur pusat.
Contoh: Amir mengambil.
Arif ada.
Kiki pergi
Ibu berangkat-ayah menunggu.
Karena terdapat dua inti, kalimat tersebut disebut kalimat mayor.
5. Kalimat Efektif
Kalimat efektif adalah kalimat berisikan gagasan pembicara atau penulis secara singka, jelas, dan tepat.
Jelas      : berarti mudah dipahami oleh pendengar atau pembaca.
Singkat  : hemat dalam pemakaian atau pemilihan kata-kata.
Tepat     : sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku.
Kalimat Tidak Efektif
Kalimat tidak efektif adalah kalimat yang tidak memiliki atau mempunyai sifat-sifat yang terdapat pada kalimat efektif.
Sebab-Sebab Ketidakefektifan Kalimat
1.       kontaminasi= merancukan 2 struktur benar  1 struktur salah
contoh:
-        diperlebar, dilebarkan  diperlebarkan (salah)
-        memperkuat, menguatkan  memperkuatkan (salah)
-        sangat baik, baik sekali  sangat baik sekali (salah)
-        saling memukul, pukul-memukul  saling pukul-memukul (salah)
-        Di sekolah diadakan pentas seni. Sekolah mengadakan pentas seni  Sekolah mengadakan pentas seni (salah)
2.       pleonasme= berlebihan, tumpang tindih
contoh :
-        para hadirin (hadirin sudah jamak, tidak perlu para)
-        para bapak-bapak (bapak-bapak sudah jamak)
-        banyak siswa-siswa (banyak siswa)
-        saling pukul-memukul (pukul-memukul sudah bermakna ‘saling’)
-        agar supaya (agar bersinonim dengan supaya)
-        disebabkan karena (sebab bersinonim dengan karena)
3.       tidak memiliki subjek
contoh:
-        Buah mangga mengandung vitamin C.(SPO) (benar)
-        Di dalam buah mangga terkandung vitamin C. (KPS) (benar) ??
-        Di dalam buah mangga mengandung vitamin C. (KPO) (salah)
4.       adanya kata depan yang tidak perlu
-        Perkembangan  daripada teknologi informasi sangat pesat.
-        Kepada siswa kelas I berkumpul di aula.
-        Selain daripada bekerja, ia juga kuliah.
5.       salah nalar
-        waktu dan tempat dipersilahkan. (Siapa yang dipersilahkan)
-        Mobil Pak Dapit mau dijual. (Apakah bisa menolak?)
-        Silakan maju ke depan. (maju selalu ke depan)
-        Adik mengajak temannya naik ke atas. (naik selalu ke atas)
-        Pak, saya minta izin ke belakang. (toilet tidak selalu berada di belakang)
-        Saya absen dulu anak-anak. (absen: tidak masuk, seharusnya presensi)
-        Bola gagal masuk gawang. (Ia gagal meraih prestasi) (kata gagal lebih untuk subjek bernyawa)
6.       kesalahan pembentukan  kata
-        mengenyampingkan seharusnya mengesampingkan
-        menyetop seharusnya menstop
-        mensoal seharusnya menyoal
-        ilmiawan seharusnya ilmuwan
-        sejarawan seharusnya ahli sejarah
7.       pengaruh bahasa asing
-        Rumah di mana ia tinggal … (the house where he lives …) (seharusnya tempat)
-        Sebab-sebab daripada perselisihan … (cause of the quarrel) (kata daripada dihilangkan)
-        Saya telah katakan … (I have told) (Ingat: pasif persona) (seharusnya telah saya katakan)
8.       pengaruh bahasa daerah
-        … sudah pada hadir. (Jawa: wis padha teka) (seharusnya sudah hadir)
-        … oleh saya. (Sunda: ku abdi) (seharusnya diganti dengan kalimat pasif persona)
-        Jangan-jangan … (Jawa: ojo-ojo) (seharusnya mungkin)
.
E.       Konjungsi
Konjungsi antarklausa, antarkalimat, dan antarparagraf.
Konjungsi atau kata sambung adalah kata-kata yang menghubungkan bagian-bagian kalimat, menghubungkan antarkalimat, antarklausa, antarkata, dan antarparagraf.
1.        Konjungsi antarklausa
a.       Yang sederajat: dan, atau, tetapi, lalu, kemudian.
b.       Yang tidak sederajat: ketika, bahwa, karena, meskipun, jika, apabila.
2.        Konjungsi antarkalimat: akan tetapi, oleh karena itu, jadi, dengan demikian.
3.       Konjungsi antarparagraf: selain itu, adapun, namun.